Kamis, 01 Januari 2015

Sejarah Politik Luar Negeri Israel

MIY


Ada beberapa tahap bentuk politik luar negeri Israel dalam berbagai fase waktu dan rezim yang memegang pemerintahan Israel.

Politik Luar Negeri Israel Setelah Kemerdekaan
Politik Luar Negeri Israel dibentuk setelah tanah yang dijanjikan didapat oleh kaum Yahudi pada tahun 14 mei 1948 dengan perdana menteri pertama yaitu Dipimpin oleh David Ben-Gurion. Pada masa ini, politik luar negeri Israel lebih mendalami institusi penting yang ada di negaranya tersebut seperti pembangunan lembaga-lembaga negara.  Pencarian pengakuan kedaulatan negara juga menjadi tujuan utama politik luar negeri Israel pada masanya.

Kemudian, setelah berdirinya negara israel pada tahun 1948, idealis gerakan zionis dinegara tersebut berharap bahwa para pemimpin israel dapat  mengambil pola serius ramalan gambar negara itu  sebagai bentuk salah satu arah politik luar negeri Israel yaitu a light unto the nations ' berbasiskan kebijakan di atas prinsip-prinsip keadilan dan hak azasi manusia[1]. Dalam waktu singkat, tekanan politik luar negeri ekstrim  diberlakukan atas kerentanan keamanan Israel atas negara negara arab disekitarnya, Hubungan luar negeri Israel muncul untuk  menetap ke alur realpolitik.            Sesuai dengan asumsi, realis organ negara dan lembaga itu yang penting, dan non-state-to-state hubungan, semakin menonjol dalam kontemporer amerika utara dan eropa barat. Dan berpikir tentang yang diabaikan atau tunduk pada pertimbangan nasiona[2]l. Bentuk arah ini menjadi prinsip politik luar negeri Gurion pada masa itu.

 Di tahun 1953, Gurion mengundurkan diri dan menjabat sebagai menteri pertahanan.  Perdana Menteri Selanjutnya digantikan oleh Moshe Sharett, dan kembali kekuasaan Perdana Menteri kembali kepada Ben- Gurion.  Pada masa Gurion ini , terjadi perang pertama arab israel yang terjadi di gurun Sinai antara Israel dan Palestina.  Politisi dari Partai Mapai ini memulai melakukan pendekatan internasional termasuk hubungan baik yang aku dengan Amerika Serikat terhadap kejadian tersebut dengan melakukan kampanya politik.  Kampanye politik pun dimulai dengan penyelenggaraan dengan dewan keamanan hampir segera setelah pertempuran dimulai. Tujuannya berubah secara bertahap untuk memenangkan legitimas Israel terhadap dunia luar dalam perang enam hari dalam pertempuran melawan Mesir di Gurun Sinai[3].Dalam peperangan ini dimenangkan secara militer oleh Kubu Israel, Prancis dan Inggris , tetapi kemenangn dalam politk dimenangkan oleh Mesir melalui keberhasilan menasionalisasikan Terusan Suez.

Politik Luar Negeri Israel Paska Perang Enam Hari


Politik Luar Negeri Israel semakin dalam percaya diri setelah kemenangan telak dalam perang enam hari. Politik Luar Negeri Israel dikomandoi oleh perdana menteri ke empat dan perdana menteri pertama perempun Israel yaitu Golda Meir. Pada masa kepemimpinan Golda, PLN Israel lebih terkonsentrasi pada pada front diplomatik - berseni pencampuran diplomasi personal dengan penggunaan terampil dalam menampilkannya dalam media massa[4]

Pada Masa ini terjadi peristiwa besar yang terjadi seperti Pembantaian Munchen dan Perang Yom Kippur yang membuat arah gerak PLN Israel sedikit konfrontatif. Walaupun mendapatkan kemenangan tipis atas perang Yom Kippur, Israel tidak bisa mengendalikan gejolak politik yang ada didalam negerinya sehingga Golda turun tahta

Politik Luar Negeri (Fokus : Israel dan PLO)

Pada fase ini, focus dari PLN Israel mulai memasui dominasi hubungan Israel – Palestina. politik luar negeri Israel diwarnai oleh beragamnya sikap Israel terhadap negaranegara Arab tetangganya, seperti penandatanganan perjanjian Camp David dengan Mesir pada 1978, serta invasi ke wilayah Lebanon Selatan pada tahun yang sama. Pada decade selanjutnya politik luar negeri Israel identik dengan agresifitas militer. Hal tersebut terlihat dari adanya penyerangan reactor nuklir Irak pada 1981, invasi ke Lebanon pada 1982, serta pengeboman markas besar PLO di Tunisia pada 1985[5].

Hal ini masih berlanjut sampai sekarang dimana pemerintahan Benyamin Netanyahu. Meneruskan wacana perdamaian diantara edua negera.  Melanjutkan kembali pembicaraan perdamaian palestina-israel menyebabkan upaya oleh pemerintah israel untuk memperbaiki status hukum referendum  yang membutuhkan referendum untuk menyetujui penarikan israel dari territories di bawah kedaulatan menjadi dasar hukum.[6] Dalam kasus hukum ini telah relevansi arus american-sponsored negotiations berakhir dengan kesepakatan, dan teritorial israel-palestina understandings termasuk sebuah divisi dari yerusalem dan / atau wilayah taukar.Sementara seperti hasil tidak, dalam melakukan tawar-menawar mereka di sekitar referendum hukum  hubungan antara politik domestik dan kebijakan luar negeri




[1]Cohen ,Raymond (1994) . Journal Middle East Quarterly : Israel's Starry-Eyed Foreign Policy vol 2 . dikutip dari http://www.meforum.org/221/israels-starry-eyed-foreign-policy
[2] ibid
[3] Rosenthal ,Yemima (2009).Journal Document of  Israel Foreign Policy : VOLUME 12THE SINAI CAMPAIGN THE POLITICAL STRUGGLE OCTOBER 1956 – MARCH 1957  Jerussalem
[5] Pradana, Hafid Jurnal UMM Fluktuasi Agresifitas Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina malang
[6] Sandle,Smhuel Israeli Coalition Politics and Foreign Policy . BESA Center Perspectives Paper No. 211, August 19, 2013
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner