Kamis, 01 Januari 2015

Revolusi Payung, Gerakan Non-violence untuk Demokrasi

Oleh: Shibgo Tulhaq*

Pemrotes Hongkong menggunakan payung sebagai simbol perlawanan mereka (Gambar: reddit.com)

Sejak akhir September lalu, Hongkong terus memanas dengan demonstrasi. Demonstran yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, pekerja bahkan sampai kalangan ibu rumah tangga ini tumpah ruah turun ke jalan selama satu bulan untuk menolak keputusan pemerintah China yang akan mengajukan calon dalam pemilihan pemimpin baru Hongkong pada tahun 2017 mendatang. Sejak lepasnya Hongkong dari Inggris pada tahun 1997, negara ini kini merupakan negara dengan dua sistem. Dimana sistem perdagangan, mata uang dan imigrasi berbeda tetapi sistem militer dan kebijakan terpusat dengan Cina daratan.

Demonstrasi ini merupakan kelanjutan dari serangkaian aksi sejak tahun 1997. Dengan tuntutan utamanya adalah rakyat Hongkong meminta hak mereka untuk memilih sendiri pemimpinnya di masa mendatang tanpa adanya intervensi pusat. Akan tetapi, ada beberapa hal yang berbeda dan menarik dari demonstrasi kali ini. Pertama, payung sebagai simbol perlawanan. Payung sebenarnya merupakan benda yang sangat biasa dikalangan masyarakat Hongkong. Dimana selain untuk melindungi tubuh dari hujan, payung juga digunakan untuk melindungi kulit dari panasnya cuaca di Hongkong. Oleh karena itu, baik hujan ataupun panas rakyat hongkong biasanya akan membawa payung di tasnya. Kemudian saat terjadi demonstrasi ini, payung digunakan untuk menghindari gas air mata dan semprotan merica. Oleh karenanya, demonstrasi ini disebut revolusi payung bahkan beberapa media menyebutnya umbrella movement.

Hal unik lainnya dari demonstrasi ini adalah terciptanya sistem anarki kolektif. Dimana kita ketahui tidak ada pemimpin dalam demonstrasi ini, akan tetapi setiap orang seolah-olah sudah tau apa yang harus dikerjakan untuk membantu satu sama lain, dari penyediaan tenda untuk tempat bermalam para demonstran, membantu membersihkan toilet umum untuk membantu petugas yang tidak sanggup karena kuantitas yang meningkat, sampai mendaur ulang sampah yang berserakan. Semua ini mereka kerjakan tanpa adanya perintah dari satu komando, mereka melakukannya karena mereka berfikir perlu melakukannya. Yang terakhir adalah menjaga lingkungan. Para demonstran Hongkong ini tahu dan paham terhadap peraturan. Mereka bukan hanya tidak menginjak rumput dan tidak merusak pepohonan tetapi mereka juga mengumpulkan sampah yang berserakan setelah selesainya aksi protes tersebut.

Non-violence Revolution
Non-violence revolution adalah sebuah revolusi yang menggunakan perlawanan sipil, termasuk berbagai bentuk protes yang tidak menggunakan kekerasan. Penulis pribadi memasukkan revolusi payung sebagai salah satunya. Kita bisa lihat bagaimana para demonstran memperjuangkan haknya akan tetapi tetap menjaga lingkungan, walaupun sakit karena gas air mata dan semprotan merica mereka tetap tidak melakukan perlawanan, mereka hanya melakukan perlindungan diri dengan payung mereka.

Non-violence dan revolution merupakan dua kata yang cukup kontroversial apabila berdiri sendiri, begitu pun saat keduanya digabungkan. Nonviolence menurut Jorgen Johansen, bukan hanya sekedar filosofi ataupun gaya hidup tetapi juga merupakan sebuah strategi politik. Kita lihat revolusi payung, mereka tidak menggunakan kekerasan karena mereka tahu negara lebih kuat dan lebih mampu menggunakan kekerasan terhadap mereka, dampaknya tentu akan berjatuhan korban. Selain itu, pemerintah jelas tidak bisa menggunakan kekerasan terhadap gerakan semacam ini karena akan berakibat pada citra negara di mata dunia.

Kemudian revolusi sendiri memiliki berbagai bentuk, ada revolusi politik dan sosial. Keduanya berbeda dalam tujuannya, apabila revolusi politik bertujuan untuk mengambil alih pemerintahan sedangkan revolusi sosial lebih ke arah hak-hak yang bersangkutan dengan sosio-ekonomi. Menurut Peralta, revolusi sosial bergantung pada revolusi politik tetapi revolusi politik tidak memerlukan revolusi sosial. Kembali ke revolusi payung, revolusi payung dapat digolongkan menjadi sebuah revolusi sosial-politik, dimana masih menurut Peralta, suatu revolusi dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi sosial-politik apabila ia terjadi secara komprehensif dan mendalam di masyarakat. Sekarang apabila tuntutan dari revolusi payung dapat terwujud maka akan terjadi perubahan yang cukup signifikan baik secara politik ataupun sosial.

Revolusi payung bukan hanya sekedar meminta hak mereka untuk menentukan pemimpinnya sendiri, mengadakan pemilihan umum kemudian lahirlah pemimpin dari rakyat. Tidak semudah itu. Ketakutan terbesar Beijing adalah dengan diaminkan keinginannya, mereka bisa memilih pemimpin dari golongan pro-demokrasi yang artinya akan membahayakan status Hongkong sebagai negara Special Administration Region (SAR) China. Hal ini lah yang menyebabkan berlarutnya penyelesaian revolusi payung ini. Dengan banyaknya tekanan yang datang baik dari dalam dan luar negeri, ditambah goncangan ekonomi karena keadaan yang tak kunjung kondusif mau tidak mau mempengaruhi pasar dan investasi, seharusnya pemerintah Beijing dapat segera menyelesaikan permasalahan ini dan mengambil keputusan. Raise the umbrella!!

*Mahasiswa HI UB 2012 dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Perspektif FISIP UB
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner