Senin, 15 Desember 2014

Permasalahan Gender


Oleh: Shibgo Tulhaq*

Feminine dan Maskulin terbentuk dari konstruksi sosial dan intersubyektifitas manusi (Gambar: equalityforher.com)
"Feminist is man or woman who says: Yes, there's a problem with gender and we need to fix it." (Chimamanda N. Adichie)
Feminis yang saya pahami adalah feminis yang didefinisikan Chimamenda di atas. Dimana ia menjelaskan dengan gamblang bahwa permasalahan gender benar-benar ada di lingkungan kita sehari-hari. Dia tidak mencontohkan hal-hal tinggi yang terkesan utopis, hal-hal yang menekan lebih kepada hak dibandingkan kewajiban, tetapi hal-hal yang ia temui di kehidupan sehari-harinya yang bagi sebagian orang mungkin tidak menyadari permasalahan itu terjadi di kehidupannya.

Dari berbagai contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita sebagai orang Indonesia adalah masalah membuat mie instan. Ketika ada dua orang anak laki-laki dan perempuan yang sama-sama merasa lapar, kira-kira siapa yang akan disuruh orang tuanya memasak mie instan? Kita tentu tidak perlu berfikir lama untuk menjawab ini, dan mungkin saja hal ini terjadi bagi sebagian besar anak perempuan di Indonesia. Ini bukan perkara ikhlas atau tidak ikhlas, bukan perkara pilih kasih orang tua, tetapi ini perkara nilai yang menempel pada perempuan. Bagaimana memasak selalu dikaitkan sebagai tugas perempuan, padahal apabila kita hitung akan lebih banyak chef handal di dunia ini yang berjenis kelamin laki-laki.

Hal yang paling menarik dari apa yang dikatakan Chimamanda adalah sesuatu yang dia sebut sebagai Immasculation. Dimana feminine dan maskulin yang terbangun dari konstruksi sosial dan intersubyektifitas ini merupakan buatan manusia yang akhirnya menyengsarakan manusia itu sendiri. Budaya dibentuk oleh manusia, bukan manusia yang dibentuk oleh budaya. Apalagi ketika budaya tersebut melahirkan norma-norma yang mengkotak-kotakkan manusia, menciptakan standar dan mendorong manusia memenuhi ekspektasi tersebut. Akibatnya, terjadilah berbagai kejahatan struktural di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan untuk membuka kotak-kotak tersebut sehingga laki-laki dan perempuan dapat menjadi dirinya sendiri dan tidak perlu menyengsarakan diri memenuhi ekspektasi publik.

Konsep membuka kotak-kotak feminine dan maskulin, serta memperbaiki budaya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan sendiri. Aksi ini perlu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Jangan mengelak dengan mengatakan ini bukan urusan saya, selama saya tidak terkena dampaknya itu fine-fine saja, mengutip dari Pramudya Ananta Toer, “Semua yang terjadi dibawah kolong langit adalah urusan bagi semua orang yang berfikir. Kalau kemanusiaan tersinggung, maka setiap yang berperasaan dan berpikir waras pasti ikut tersinggung.”

*Penulis adalah Mahasiswa HI FISIP UB Angkatan 2012 dan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Perspektif FISIP UB.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner