Oleh: Shibgo
Tulhaq*
Feminine dan Maskulin terbentuk dari konstruksi sosial dan intersubyektifitas manusi (Gambar: equalityforher.com) |
"Feminist is man or woman who says: Yes, there's a problem with gender and we need to fix it." (Chimamanda N. Adichie)
Feminis yang saya
pahami adalah feminis yang didefinisikan Chimamenda di atas. Dimana ia menjelaskan
dengan gamblang bahwa permasalahan gender benar-benar ada di lingkungan kita
sehari-hari. Dia tidak mencontohkan hal-hal tinggi yang terkesan utopis,
hal-hal yang menekan lebih kepada hak dibandingkan kewajiban, tetapi hal-hal
yang ia temui di kehidupan sehari-harinya yang bagi sebagian orang mungkin tidak
menyadari permasalahan itu terjadi di kehidupannya.
Dari berbagai contoh
yang paling dekat dengan kehidupan kita sebagai orang Indonesia adalah masalah
membuat mie instan. Ketika ada dua orang anak laki-laki dan perempuan yang
sama-sama merasa lapar, kira-kira siapa yang akan disuruh orang tuanya memasak
mie instan? Kita tentu tidak perlu berfikir lama untuk menjawab ini, dan
mungkin saja hal ini terjadi bagi sebagian besar anak perempuan di Indonesia.
Ini bukan perkara ikhlas atau tidak ikhlas, bukan perkara pilih kasih orang tua,
tetapi ini perkara nilai yang menempel pada perempuan. Bagaimana memasak selalu
dikaitkan sebagai tugas perempuan, padahal apabila kita hitung akan lebih
banyak chef handal di dunia ini yang berjenis kelamin laki-laki.
Hal yang paling menarik
dari apa yang dikatakan Chimamanda adalah sesuatu yang dia sebut sebagai
Immasculation. Dimana feminine dan maskulin yang terbangun dari konstruksi
sosial dan intersubyektifitas ini merupakan buatan manusia yang akhirnya
menyengsarakan manusia itu sendiri. Budaya dibentuk oleh manusia, bukan manusia
yang dibentuk oleh budaya. Apalagi ketika budaya tersebut melahirkan norma-norma
yang mengkotak-kotakkan manusia, menciptakan standar dan mendorong manusia memenuhi
ekspektasi tersebut. Akibatnya, terjadilah berbagai kejahatan struktural di
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan untuk membuka kotak-kotak tersebut
sehingga laki-laki dan perempuan dapat menjadi dirinya sendiri dan tidak perlu
menyengsarakan diri memenuhi ekspektasi publik.
Konsep membuka
kotak-kotak feminine dan maskulin, serta memperbaiki budaya merupakan hal yang
tidak dapat dilakukan sendiri. Aksi ini perlu dilakukan secara terstruktur,
sistematis dan masif. Jangan mengelak dengan mengatakan ini bukan urusan saya,
selama saya tidak terkena dampaknya itu fine-fine
saja, mengutip dari Pramudya Ananta Toer, “Semua yang terjadi dibawah kolong langit adalah urusan bagi semua orang yang berfikir. Kalau kemanusiaan tersinggung, maka setiap yang
berperasaan dan berpikir waras pasti ikut tersinggung.”
*Penulis adalah Mahasiswa HI FISIP UB Angkatan 2012 dan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Perspektif FISIP UB.