Oleh: Shibgo Tulhaq
Kebanyakan orang yang mendengar kata transnational organized crime akan langsung mevisualisasikan difikirannya peran Marion Brandon sebagi Vito Corloene dalam film The Godfather. Kejahatan transnasional terorganisir memang sering diidentikkan pada etnis tertentu, seperti Sicilian, orang-orang Eropa timur, dan apabila berbicara di Asia tentu kita akan mengingat Yakuza di Jepang.
Definisi kejahatan transnational sendiri menurut John Picarelli adalah sebuah kelompok yang terdiri dari tiga atau lebih anggota yang mengorganisir waktu sebelum dan sesudah mereka melakukan kejahatan serius yang terkoordinasi dengan tujuan keuntungan finansial (Picarelli, 2008).
Kejahatan transnasional bukan hanya sekedar kejahatan yang dilakukan melewati batas negara yang organisasinya berbentuk hirarki seperti dalam film The Godfather. Tetapi kata transnasional yang ditempelkan disini merupakan sebuah makna bagaimana sekelompok orang ini telah berhasil ‘menggunakan’ kemajuan teknologi dan perubahan politik untuk mencapai tujuan mereka. Pertukaran ide, barang, bahkan uang saat ini amat sangat cepat seiring dengan kemajuan teknologi. Hal ini tentu saja merupakan sebuah peluang emas, bukan hanya bagi perdagangan antar negara yang sifatnya elitis dan legal tetapi juga bagi kegiatan ekonomi bawah tanah.
Transformasi perpolitikan dunia dua puluh tahun terakhir juga amat berpengaruh atas terbentuknya kejahatan transnasional. Runtuhnya Uni Soviet, terbentuknya Schengen Area di Uni Eropa dan munculnya global cities turut berperan secara signifikan dalam memfasilitasi kelahiran fenomena ini (Picarelli, 2008). Maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa kejahatan transnasional merupakan anak haram dari globalisasi.
Jalur Sutra Narkotik ke Indonesia
Ada tiga barang yang merupakan sector terbesar perdagangan gelap yang dilakukan oleh pelaku kejahatan transnational, yang disebut the big three, yaitu obat-obatan, manusia, dan senjata. Perdagangan manusia dan senjata memang cukup besar akan tetapi nomor satu tetap dipegang oleh obat-obatan. Perdagangan obat-obatan disini bukan hanya sekedar narkoba, ganja dan obat-obatan adiktif lainnya tetapi juga termasuk persebaran obat palsu.
WHO sebelumnya memperkirakan bahwa sampai 1 persen dari obat-obatan yang tersedia di negara maju cenderung penipuan. Angka ini meningkat sampai 10 persen di berbagai negara berkembang, dan di beberapa bagian Asia, Afrika dan Amerika Latin, obat-obatan palsu bisa mencapai sebanyak 30 persen dari pasar. Dalam sebuah artikel di jurnal medis The Lancet pada pertengahan 2012, tercatat bahwa sepertiga dari obat malaria yang digunakan di Asia Timur dan sub-Sahara Afrika adalah penipuan (UNODC, 2014).
Sedangkan untuk kasus peredaran obat-obatan di Indonesia adalah obat-obatan terlarang atau narkotik. Dimana diketahui belakangan, bahwa permintaan yang cukup banyak membuat harga narkotik jenis sabu sangat tinggi. Apabila di Iran sabu dijual per gramnya seharga lima puluh ribu rupiah, di Indonesia dijual seharga satu juta rupiah.
Masuknya narkotika ke Indonesia memiliki banyak pintu, terutama jalur darat di daerah perbatasan Kalimantan yang minim penjagaan. Sepanjang 875 kilometer perbatasan Kalimantan-Sarawak hanya ada lima pos pemeriksaan, sedangkan ada lebih kurang 500 jalan tikus tak berpenjaga yang menghubungkan desa-desa di Kalimantan Barat dengan wilayah Sarawak (Primandari, 2014).
Jalan sutra narkotik, terutama jenis sabu minimal memiliki tiga jalur tergantung asal sabu atau heroin tersebut. Pertama, sabu yang berasal dari the golden crescen, daerah Asia tengah seperti, Afganistan, Iran, dan Pakistan. Pasokan sabu yang berasal dari sini dikirim ke Thailand dari Karachi dan Lahore di Pakistan melalui Bangkok, Phuket, dan terus ke selatan melalui kota Songkla, Pattani hingga ke Malaysia dan dilanjutkan ke Indonesia. Kemudian jalur masuk lainnya adalah dari India melalui Nepal, Mumbai, Chenai dan Hyderabad dibawa ke Kuala Lumpur, Port Klang, Melaka, Johor bahru, Malaysia dan masuk ke selat malaka ditransfer ke Medan, Kepulauan Riau dan Dumai. Selain itu jalur masuk lainnya, melalui Dili, Timor Leste. Ke Indonesia melalui Atambua, Kupang, Surabaya, dan Jakarta.
Kedua, sabu asal Nigeria, Afrika, masuk ke Thailand kemudian Malaysia dan masuk ke Indonesia melalui jalur darat. Peredaran juga melalui Nunukan ke Tarakan atau kota-kota lain di Sulawesi yang mempunyai hubungan transportasi dari Nunukan. Dan terakhir, pasokan asal China dan Hong Kong, juga melalui Thailand kemudian dibawa lewat jalur darat menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia. Dari sana beredar dengan perahu boat ke Tanjung Sengkuan, Batam (Primandari, 2014).
Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak, Timor Leste-Atambua, ataupun Johor Bahru- Batam merupakan daerah-daerah perbatasan yang lemah. Selain lemah penjagaan, masyarakat sekitar yang berpendidikan rendah dan mengalami kesulitan ekonomi juga merupakan lahan yang pas untuk dijadikan agen penyebaran sabu.
Selama ini, penangkapan hanya berlaku di kalangan bandar besar, pengedar kecil, dan pemakai. Mengapa kelompok atau orang-orang yang berada di balik peredaran ini tidak pernah tertangkap, bahkan sama sekali tidak pernah tercium keberadaannya? Hal ini merupakan hasil kerja dari transnational organized crime yang sangat rapi. Bahkan mungkin sebagian dari mereka saat ini duduk di bangku-bangku pemerintahan. Ini bukan hanya sekedar asumsi. Di Jepang sudah ada beberapa pejabat yang diketahui merupakan anggota dari Yakuza. Dan tidak menutup kemungkinan, hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Musuh Bersama
Menghadapi transnational organized crime tidak bisa dilakukan oleh negara seorang sendiri. Tentu hal ini jelas tergambarkan dari peredaran narkotik di Indonesia yang melintasi perbatasan beberapa negara sekaligus. Selain tidak sendiri, perlawanan terhadap fenomena ini juga harus dilakukan secara multiple layers.
Sadar akan bahaya dari kejahatan transnasional, pada tahun 1997, PBB membentuk sebuah badan bernama the UN Office for Drugs and Crime (UNODC) yang difokuskan untuk melawan kejahatan transnasional. Kemudian organisasi regional juga sudah bergerak. Di ASEAN misalnya, sudah berkali-kali mengadakan pertemuan yang berfokus pada mengkoordinasikan respon terhadap kejahatan transnasional.
Di level nasional, negara mengharmonisasikan legal formal dan membangun kapasitas institusi baik secara bilateral ataupun multilateral. Kemudian public-private partnership juga dapat dilakukan, karena negara tidak dapat melawan kejahatan transnasional tanpa ada asistensi dari institusi dan organisasi dalam negeri. Dan terakhir adalah memberi pemahaman terhadap masyarakat sipil. Apabila di Indonesia, tentu saja di daerah perbatasan. Keikutsertaan masyarakat sipil merupakan hal yang dapat menguatkan perlawanan ini (Picarelli, 2008).
Referensi:
Picarelli, J. T. (2008). Transnational Organized Crime. In P. D. Williams, Security Studies: An Introduction (pp. 454-455, 464-466). Oxon: Routledge.
Primandari, Y. a. (2014, September 16). Jalan Narkoba ke Indonesia. Retrieved November 3, 2014, from Tempo: http://www.tempo.co/read/flashgrafis/2014/09/16/625/Jalur-Narkoba-ke-Indonesia
UNODC. (2014). Focus on: The Illicit Traficking of Counterfeit Goods and Transnational Organized Crime. Retrieved November 3, 2014, from UNODC official website: http://www.unodc.org/documents/counterfeit/FocusSheet/Counterfeit_focussheet_EN_HIRES.pdf
Kebanyakan orang yang mendengar kata transnational organized crime akan langsung mevisualisasikan difikirannya peran Marion Brandon sebagi Vito Corloene dalam film The Godfather. Kejahatan transnasional terorganisir memang sering diidentikkan pada etnis tertentu, seperti Sicilian, orang-orang Eropa timur, dan apabila berbicara di Asia tentu kita akan mengingat Yakuza di Jepang.
Definisi kejahatan transnational sendiri menurut John Picarelli adalah sebuah kelompok yang terdiri dari tiga atau lebih anggota yang mengorganisir waktu sebelum dan sesudah mereka melakukan kejahatan serius yang terkoordinasi dengan tujuan keuntungan finansial (Picarelli, 2008).
Kejahatan transnasional bukan hanya sekedar kejahatan yang dilakukan melewati batas negara yang organisasinya berbentuk hirarki seperti dalam film The Godfather. Tetapi kata transnasional yang ditempelkan disini merupakan sebuah makna bagaimana sekelompok orang ini telah berhasil ‘menggunakan’ kemajuan teknologi dan perubahan politik untuk mencapai tujuan mereka. Pertukaran ide, barang, bahkan uang saat ini amat sangat cepat seiring dengan kemajuan teknologi. Hal ini tentu saja merupakan sebuah peluang emas, bukan hanya bagi perdagangan antar negara yang sifatnya elitis dan legal tetapi juga bagi kegiatan ekonomi bawah tanah.
Transformasi perpolitikan dunia dua puluh tahun terakhir juga amat berpengaruh atas terbentuknya kejahatan transnasional. Runtuhnya Uni Soviet, terbentuknya Schengen Area di Uni Eropa dan munculnya global cities turut berperan secara signifikan dalam memfasilitasi kelahiran fenomena ini (Picarelli, 2008). Maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa kejahatan transnasional merupakan anak haram dari globalisasi.
Jalur Sutra Narkotik ke Indonesia
Ada tiga barang yang merupakan sector terbesar perdagangan gelap yang dilakukan oleh pelaku kejahatan transnational, yang disebut the big three, yaitu obat-obatan, manusia, dan senjata. Perdagangan manusia dan senjata memang cukup besar akan tetapi nomor satu tetap dipegang oleh obat-obatan. Perdagangan obat-obatan disini bukan hanya sekedar narkoba, ganja dan obat-obatan adiktif lainnya tetapi juga termasuk persebaran obat palsu.
WHO sebelumnya memperkirakan bahwa sampai 1 persen dari obat-obatan yang tersedia di negara maju cenderung penipuan. Angka ini meningkat sampai 10 persen di berbagai negara berkembang, dan di beberapa bagian Asia, Afrika dan Amerika Latin, obat-obatan palsu bisa mencapai sebanyak 30 persen dari pasar. Dalam sebuah artikel di jurnal medis The Lancet pada pertengahan 2012, tercatat bahwa sepertiga dari obat malaria yang digunakan di Asia Timur dan sub-Sahara Afrika adalah penipuan (UNODC, 2014).
Sedangkan untuk kasus peredaran obat-obatan di Indonesia adalah obat-obatan terlarang atau narkotik. Dimana diketahui belakangan, bahwa permintaan yang cukup banyak membuat harga narkotik jenis sabu sangat tinggi. Apabila di Iran sabu dijual per gramnya seharga lima puluh ribu rupiah, di Indonesia dijual seharga satu juta rupiah.
Masuknya narkotika ke Indonesia memiliki banyak pintu, terutama jalur darat di daerah perbatasan Kalimantan yang minim penjagaan. Sepanjang 875 kilometer perbatasan Kalimantan-Sarawak hanya ada lima pos pemeriksaan, sedangkan ada lebih kurang 500 jalan tikus tak berpenjaga yang menghubungkan desa-desa di Kalimantan Barat dengan wilayah Sarawak (Primandari, 2014).
Jalan sutra narkotik, terutama jenis sabu minimal memiliki tiga jalur tergantung asal sabu atau heroin tersebut. Pertama, sabu yang berasal dari the golden crescen, daerah Asia tengah seperti, Afganistan, Iran, dan Pakistan. Pasokan sabu yang berasal dari sini dikirim ke Thailand dari Karachi dan Lahore di Pakistan melalui Bangkok, Phuket, dan terus ke selatan melalui kota Songkla, Pattani hingga ke Malaysia dan dilanjutkan ke Indonesia. Kemudian jalur masuk lainnya adalah dari India melalui Nepal, Mumbai, Chenai dan Hyderabad dibawa ke Kuala Lumpur, Port Klang, Melaka, Johor bahru, Malaysia dan masuk ke selat malaka ditransfer ke Medan, Kepulauan Riau dan Dumai. Selain itu jalur masuk lainnya, melalui Dili, Timor Leste. Ke Indonesia melalui Atambua, Kupang, Surabaya, dan Jakarta.
Kedua, sabu asal Nigeria, Afrika, masuk ke Thailand kemudian Malaysia dan masuk ke Indonesia melalui jalur darat. Peredaran juga melalui Nunukan ke Tarakan atau kota-kota lain di Sulawesi yang mempunyai hubungan transportasi dari Nunukan. Dan terakhir, pasokan asal China dan Hong Kong, juga melalui Thailand kemudian dibawa lewat jalur darat menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia. Dari sana beredar dengan perahu boat ke Tanjung Sengkuan, Batam (Primandari, 2014).
Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak, Timor Leste-Atambua, ataupun Johor Bahru- Batam merupakan daerah-daerah perbatasan yang lemah. Selain lemah penjagaan, masyarakat sekitar yang berpendidikan rendah dan mengalami kesulitan ekonomi juga merupakan lahan yang pas untuk dijadikan agen penyebaran sabu.
Selama ini, penangkapan hanya berlaku di kalangan bandar besar, pengedar kecil, dan pemakai. Mengapa kelompok atau orang-orang yang berada di balik peredaran ini tidak pernah tertangkap, bahkan sama sekali tidak pernah tercium keberadaannya? Hal ini merupakan hasil kerja dari transnational organized crime yang sangat rapi. Bahkan mungkin sebagian dari mereka saat ini duduk di bangku-bangku pemerintahan. Ini bukan hanya sekedar asumsi. Di Jepang sudah ada beberapa pejabat yang diketahui merupakan anggota dari Yakuza. Dan tidak menutup kemungkinan, hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Musuh Bersama
Menghadapi transnational organized crime tidak bisa dilakukan oleh negara seorang sendiri. Tentu hal ini jelas tergambarkan dari peredaran narkotik di Indonesia yang melintasi perbatasan beberapa negara sekaligus. Selain tidak sendiri, perlawanan terhadap fenomena ini juga harus dilakukan secara multiple layers.
Sadar akan bahaya dari kejahatan transnasional, pada tahun 1997, PBB membentuk sebuah badan bernama the UN Office for Drugs and Crime (UNODC) yang difokuskan untuk melawan kejahatan transnasional. Kemudian organisasi regional juga sudah bergerak. Di ASEAN misalnya, sudah berkali-kali mengadakan pertemuan yang berfokus pada mengkoordinasikan respon terhadap kejahatan transnasional.
Di level nasional, negara mengharmonisasikan legal formal dan membangun kapasitas institusi baik secara bilateral ataupun multilateral. Kemudian public-private partnership juga dapat dilakukan, karena negara tidak dapat melawan kejahatan transnasional tanpa ada asistensi dari institusi dan organisasi dalam negeri. Dan terakhir adalah memberi pemahaman terhadap masyarakat sipil. Apabila di Indonesia, tentu saja di daerah perbatasan. Keikutsertaan masyarakat sipil merupakan hal yang dapat menguatkan perlawanan ini (Picarelli, 2008).
Referensi:
Picarelli, J. T. (2008). Transnational Organized Crime. In P. D. Williams, Security Studies: An Introduction (pp. 454-455, 464-466). Oxon: Routledge.
Primandari, Y. a. (2014, September 16). Jalan Narkoba ke Indonesia. Retrieved November 3, 2014, from Tempo: http://www.tempo.co/read/flashgrafis/2014/09/16/625/Jalur-Narkoba-ke-Indonesia
UNODC. (2014). Focus on: The Illicit Traficking of Counterfeit Goods and Transnational Organized Crime. Retrieved November 3, 2014, from UNODC official website: http://www.unodc.org/documents/counterfeit/FocusSheet/Counterfeit_focussheet_EN_HIRES.pdf