Selasa, 17 Juni 2014

Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives

Oleh: MIY*

Anthony Giddens (Foto: theguardian.com)

Saya mencoba untuk membawa kembali pemahaman dan esensi globalisasi melalui pemahaman Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang memahami bahwa globalisasi dalam suatu dialog antar mahasiwa London Economic School and Political Science bahwa globalisasi merupakan intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia, yang menghubungkan berbagai tempat yang terpisah begitu rupa sehingga sebuah kejadian lokal dibentuk oleh kejadian-kejadian yang jauh, dan juga sebaliknya. Karena globalisasi, persepsi mengenai dunia berubah. Masyarakat harus menyesuaikan lagi pikiran sosialnya dan tindakan sehari-harinya. Ini berarti harus mengubah kembali corak hubungan antarnegara, mengubah dinamika identitas, dan meninjau kembali berbagai hubungan-hubungan internasional.
Cover Buku Runaway World karangan Anthony Giddens (Gambar: amazon.com)
Dalam artikel ini, ada dua garis besar acuan yang saya gunakan dalam memahami dan untuk didiskusikan kepada teman-teman, yaitu Kekerasan Globalisasi dan Global Electronic Global. Dalam wacana kekerasan global, saya memulai pertanyaan diskusi apakah globalisasi membuat adanya sebuah kelunturan terhadap pola pikir manusia dalam memahami norma yang telah disepakati bersama? Untuk memperkuat pendapat kalian, saya mencoba memberikan kutipan dari buku Giddens berjudul Runaway World yaitu "By the identifying tradition with dogma and ignorance, the Enlightenment thinkers sought to justify their absorption with the new"Hal ini didasarkan kepada semakin kuatnya jaringan informasi yang lebih mengutamakan tema kriminalitas yang makin lama makin merajalela. Tentu miris rasanya melihat dengan seharusnya semakin tumbuh pola pikir manusia tetapi rasa kemanusiaan tiap individu mulai tergerus.

Selanjutnya dalam garis tema kedua, Giddens menjabarkan melalui modernitasnya, negara-negara dunia ketiga menjadikan sebuah ketergantungan tentang kebutuhan-kebutuhan negaranya kepada negara core. Apabila ditarik dari segi historis, adanya sebuah kelanjutan dari bentuk kolonialisme dan imperialisme terjadi dalam bentuk globalisasi. Saling ketergantungan ini menjadi hal yang negatif apabila terjadi ketidak-seimbangan antara kebutuhan yang diperlukan di tiap negara. Negara-negara maju dengan kemampuan berkembang yang lebih baik dalam budaya iptek maupun ekonomi melancarakan sebuah proses produksi yang hasil dari barang tersebut menjadi hal yang penting bagi negara-negara konsumen yang khususnya negara dunia ketiga. Bentuk konsumerisme ini membuat adanya ketergantungan berkelanjutan. Otomatis untuk memenuhi sifat konsumerisme dari negara dunia ketiga tersebut, negara-negara tersebut harus rela sumber daya alamnya dieksploitasi oleh negara core karena negara tersebut telah didesain oleh negara core sebagai bangsa pasar dan tidak bisa mengolah sumber daya alamnya sendiri secara maksimal. Fenomena ini menimbulkan adanya kesenjangan sosial pada masyarakat negara dunia ketiga karena kemampuan konsumsi tiap individu maupun kelompok berbeda. Hal ini saya kaitkan dengan sebuah fenomena, fenomena bahwa kita sedang melalui sebuah periode besar transisi sejarah, yaitu perubahan yang sedang mempengaruhi kita tidak terbatas di satu wilayah di muka bumi, tetapi menjangkau hampir setiap tempat.


Kehidupan jaman sekarang berkembang di bawah pengaruh ilmu, teknologi dan pemikiran rasional yang membawa kita pada situasi yang tak terkendali. Selain itu beberapa pengaruh yang semula dapat diprediksikan seringkali membawa dampak yang sebaliknya. Dan akhirnya poin besar dari pertanyaan saya pada garis tema kedua ini adalah, "Apakah Teknologi yang beradaptasi dengan manusia, ataukah kita yang harus beradaptasi dengan teknologi?"


*Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UB Angkatan 2012


NEXT ARTICLE Next Post
This Is The Oldest Page
NEXT ARTICLE Next Post
This Is The Oldest Page
 

Delivered by FeedBurner